JAKARTA, JPI — Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen untuk sektor properti hingga 31 Desember 2025. Keputusan ini diambil dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (25/7), di Jakarta.
Padahal, dalam ketentuan awal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, insentif PPN DTP hanya berlaku penuh (100%) untuk pembelian rumah pada periode Januari–Juni. Sementara untuk semester II (Juli–Desember), insentif seharusnya turun menjadi 50 persen.
“Terkait fasilitas PPN DTP untuk properti yang seharusnya semester II itu 50 persen, tadi disepakati untuk tetap 100 persen,” ujar Airlangga kepada awak media.
Dengan keputusan ini, pemerintah akan merevisi PMK 13/2025 guna menyesuaikan skema insentif pajak hingga akhir tahun. “Nanti teknis-teknis itu yang kita bahas lebih detail,” imbuhnya.
Insentif PPN DTP properti mencakup rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar, dengan dasar pengenaan pajak sampai Rp2 miliar. Skema ini telah menjadi bagian dari stimulus fiskal yang bertujuan untuk mendorong konsumsi rumah tangga dan menjaga momentum pertumbuhan sektor properti nasional.
Sinyal perpanjangan insentif ini sebenarnya telah diungkap lebih dulu oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait atau Ara. Ia menyebut bahwa perpanjangan ini merupakan respons terhadap aspirasi para pelaku usaha properti, sekaligus bagian dari strategi memperkuat daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Ini usulan dari para pengembang, dan menurut saya masuk akal. Insentif ini terbukti mendorong minat masyarakat untuk membeli rumah,” kata Ara saat menghadiri penandatanganan MoU kuota rumah subsidi bagi pengemudi Blue Bird, Selasa (17/6), seperti dikutip dari Kompas.com.
Ara juga menuturkan bahwa ia telah menyampaikan langsung usulan perpanjangan tersebut kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun ia menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di ranah otoritas fiskal. “Kita harus menghormati kewenangan Ibu Menteri Keuangan,” tandasnya.
Kebijakan ini diharapkan tidak hanya memberikan angin segar bagi sektor properti, tetapi juga turut menggerakkan sektor-sektor turunan seperti konstruksi, bahan bangunan, hingga tenaga kerja.